Pages

Tuesday, September 4, 2018

Jokowi: Pelemahan Rupiah Akibat Faktor Eksternal yang Datang Bertubi-tubi

Rupiah terus melemah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir. Meski demikian, ternyata pelemahan nilai tukar rupiah masih tak terlalu besar dibandingkan mata uang beberapa negara lain yang merupakan anggota G-20.

Mengutip data Bloomberg, Rabu (5/9/2018), sejak awal tahun 2018 hingga pertengahan agustus 2018, nilai tukar rupiah tercatat masih lebih mampu menahan penguatan Dolar AS. Ini dibandingkan dengan mata uang 6 negara anggota G-20 yakni Turki, Argentina, Rusia, Brasil, Afrika Selatan dan India.

Rupiah hanya melemah 7,7 persen terhadap Dolar AS. Kondisi berbeda terjadi pada Lira Turki yang melemah 80,43 persen dan Peso Argentina melemah 56,90 persen.

Demikian pula bila dibandingkan Rubel Rusia yang melemah 17,62 persen serta Real Brasil yang melemah 16,66 persen.

Negara anggota G20 lainnya, Rand Afrika melemah 16,65 persen dan Rupee India yang melemah 9,66 persen.

Ternyata, pelemahan rupiah terkait dengan krisis keuangan yang terjadi di Turki, Argentina dan Brazil. Krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut diduga mirip dengan Indonesia pada 1998.

Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini didorong karena masalah sentimen.

Efek krisis keuangan yang terjadi di Turki dan Argentina itu berdampak terhadap negara berkembang termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia juga mencatatkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan.

Tercatat defisit transaksi berjalan sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar.

Angka itu meningkat dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dari kuartal I 2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Budi mengatakan, pemerintah perkuat ekonomi dengan infrastruktur sehingga butuh barang impor dan pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah Amerika Serikat (AS) memperketat kebijakan moneternya. Hal tersebut mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Budi menambahkan, kondisi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS pada 2018, menurut Budi berbeda dengan kondisi 1998.

"Sekarang tidak seperti 1998. Indonesia sudah bertobat. Ada hal yang buat kondisinya berbeda. Pertama, sekarang flexible rate, dulu fixed rate ketika rupiah melemah utang perusahaan jadi lebih besar dari aset. Kemudian sekarang bank sudah ada yang mengawasi," ujar Budi saat dihubungi Liputan6.com.

Budi menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ini jadi momen pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dan meningkatkan ekspor.

"Pelemahan rupiah obat tata diri kurangi impor, bisa genjot ekspor dan manfaatkan tourism sehingga jaring dolar AS," ujar Budi.

Dalam laporan menyikapi gejolak rupiah, Budi menyebutkan, faktor kenaikan suku bunga, penguatan dolar Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang yang banyak berutang valas dan impor bahan bakar minyak.

"Sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung memburuk seperti ditunjukkan oleh pelebaran angka credit default swap dan JP Morgan emerging market spread. Fenomena yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antar aset dan antar regional menuju negara maju,” tutur dia.

Let's block ads! (Why?)

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3636878/jokowi-pelemahan-rupiah-akibat-faktor-eksternal-yang-datang-bertubi-tubi

No comments:

Post a Comment