Liputan6.com, Jakarta - Penampilan anggota-anggota Royal Family selalu berhasil mencuri atensi. Khususnya bagi para wanita yang kerap terlihat mengenakan topi bernama fascinator. Hiasan kepala ini biasanya hadir dalam beragam ukuran, model, dan desain yang menarik.
Fascinator kerap digunakan dalam berbagai kesempatan seperti acara-acara kerajaan hingga pernikahan. Pemakaian hiasan kepala tersebut telah menjadi tradisi di Royal Family yang berkembang dari waktu ke waktu. Lantas, bagaimana sejarah dari eksistensi fascinator di tanah Britania Raya?
Semua itu bermula dari periode Tudor antara 1483 dan 1603 silam. Kala itu, para wanita Inggris dan Welsh menghiasi kepada dengan kerudung, mantel, hingga topi. Banyaknya hiasan kepala yang rumit dan mahal, lantas membuat topi tudor menjadi simbol status, seperti diwartakan Allure.
Topi itu bertabur mutiara, renda, bulu, perhiasan kaca, hingga benang emas. Tampilan coif turut populer di awal 1500-an. Begitu pula dengan sebutan milliner atau pembuat topi wanita, termasuk kehadiran fascinator. Semakin rumit modelnya, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan.
Memasuki 1600-an, wanita Inggris kian terpengaruh dengan mode Prancis. Mereka terinspirasi oleh istri Charles I bernama Henrietta of France dengan tampilan hair flat dan rambut keriting di sisi samping.
Saat Charles II kembali pada tahta pada 1660, kualitas meraih titik tertinggi. Ia memakai rambut palsu yang membuat heboh dan para wanita ikut mengadopsi gaya rambut fontange yang dipopulerkan oleh French Marquise de Fontange.
Gaya rambut fontange merupakan kombinasi dari hiasan kepala dan gaya rambut yang tinggi. Rambut ikal mereka ditumpuk dengan hiasan bunga, busur, kerudung, hingga topi kecil.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
No comments:
Post a Comment