Pages

Monday, December 3, 2018

HEADLINE: Polemik Soeharto Bapak Pembangunan Vs Guru Korupsi, Siapa Untung?

Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-2 RI Soeharto kembali jadi perbincangan jelang Pileg dan Pilpres 2019. Sosoknya seakan jadi komoditi politik sejumlah partai. Tujuannya satu, meningkatkan elektabilitas partai dan calon presiden yang didukung. Di sisi lain, mengganjal popularitas dan rating lawan politik.

Pro dan kontra terjadi. Satu pihak menyebut Soeharto adalah guru korupsi, di kubu lain, kekeuh menyebut era Soeharto lebih baik dibanding pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini. Label Soeharto adalah Bapak Pembangunan kembali dihidupkan.  

Polemik diperkeruh ucapan Wasekjen PDIP Ahmad Basarah. Dalam sebuah acara di Megawati Institute, Basarah menyebut, Soeharto adalah guru korupsi Indonesia.

"Tap MPR Nomor 11 tahun 1998 itu adalah untuk penegakan hukum terhadap terduga pidana korupsi mantan Presiden Soeharto. Jadi, guru dari korupsi Indonesia sesuai Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto. Dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo," ucap Basarah di Jakarta, 28 November 2018.

Ucapan Basarah sekaligus meng-counter omongan capres Prabowo Subianto sebelumnya yang menyebut korupsi di era pemerintahan sekarang ini sudah memasuki stadium empat.

Tak cukup itu, seakan mempertegas ucapan Basarah, Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni menyebut Soeharto sebagai simbol korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Infografis Polemik Soeharto Guru Korupsi Vs Bapak Pembangunan. (Liputan6.com/Triyasni)

Respons keras pun langsung muncul dari pendukung Soeharto. Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto langsung memerintahkan kadernya melaporkan Ahmad Basarah ke pihak berwajib karena ucapannya tersebut.

"Saya minta Laskar Berkarya sebagai sayap partai untuk menuntut. Karena faktanya tidak demikian," kata Tommy saat pengukuhan DPP Laskar Berkarya di Bogor, Jumat 30 November 2018.

Menurut putra bungsu Soeharto ini, korupsi itu justru secara masif terjadi di era reformasi hingga sekarang ini. Hal itu dibuktikan dengan banyak para pelaku yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara akibat terjerat kasus korupsi.

"Bahwa Orba dinyatakan KKN, biangnya KKN dan sebagainya. Tapi nyatanya, fakta hukumnya itu membuktikan bahwa selama reformasi ini sudah ratusan orang kena OTT (operasi tangkap tangan)," terang Tommy.

Tak hanya Basarah, Berkarya dan keluarga Cendana juga akan merenteng nama Raja Juli Antoni dalam laporan yang ke polisi nantinya. 

Polemik pun memanas. Kedua kubu merasa sebagai pihak yang benar. Pengamat Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menyatakan, stempel Soeharto sebagai guru korupsi tak bisa dibantahkan selama masih ada Tap MPR Nomor XI Tahun 1998.

"Kan itu sudah jelas, mau apalagi?" tegas Kristiadi kepada Liputan6.com, Senin (3/12/2018).

Kristiadi menyatakan, pembangunan di era Orde Baru terbukti mengorbankan negara. Kemajuan yang diraih zaman Soeharto hanya dinikmati kalangan tertentu.

"Kita bisa lihat monopoli rezim masa lalu, rezim yang memonopoli kebenaran dan kekuasaan. Kalau rakyat berbeda pendapat dianggap subversif, dikejar-kejar dan dibunuh," kata dia.

Pemerintahan era Soeharto, kata Kristiadi, seperti bumi dan langit jika dibandingkan dengan pemerintahan saat ini dibawa Jokowi-JK.

"Tentu Pak Jokowi ada kekurangannya. Tapi, tatanan kekuasaan ini jauh lebih baik dari zaman Soeharto. Kalau ada kekurangannya, tinggal disempurnakan. Memang agak menceng-menceng, tapi rakyat masih bisa meluruskan," ujarnya.

Kristiadi menambahkan, julukan Bapak Pembangunan yang disematkan kepada Soeharto lebih pada upaya rekayasa politis mengangkat nama penguasa 32 tahun RI.

"Dan rekayasa politik itu sudah tidak jadi legitimate karena ada Tap MPR yang secara demokratis mengatakan bahwa dalam memberantas KKN termasuk Soeharto," terangnya.

Kristiadi memaklumi jika ada pihak yang ingin mempertahankan dan menjual label Bapak Pembangunan untuk Soeharto. Sebab hanya isu itu yang bisa dijual sebagai partai baru. Setidaknya bagi Berkarya.

"Ya karena ini sangat berguna bagi mereka (pendukung Soeharto), tapi itu kan tidak sesuai secara fisik karena korupsi sudah menggerogoti tiang-tiang berbangsa dan bernegara," ungkapnya.

Dia menyakini isu ini tidak akan merubah elektabilitas, baik Partai Berkarya maupun capres Prabowo.

"Hanya, kembali lagi ke masyarakat, apakah mereka mau kembali ke zaman seperti Soeharto. Kalau saya enggak mau. Jangan sampai kembali ke rezim masa lalu," ujarnya.

Kristiadi juga tidak yakin kasus ini juga akan menguntungkan PDIP secara elektabilitas. "Tapi tergantung PDIP mengemasnya sih, bisa baik atau tidak?," katanya.

Terpisah, Direktur Ekskutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyatakan, citra Soeharto sejak reformasi hingga sekarang masih banyak negatifnya dibanding positifnya. Stigma Soeharto populer dan melekat hingga saat ini antara lain presiden terkorup di dunia, otoriter, diktator, kudeta Soekarno dan membungkam Islam," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (3/12/2018).

Polemik tentang Soeharto yang melibatkan Partai Berkarya, PDIP dan PSI saat ini, jika diletakkan dalam konteks persepsi tentang Soeharto secara keseluruhan masih dipersepsikan buruk, maka partai yang 'jualan' Soeharto sebagai strategi marketing politik tidak akan efektif.

"Tapi ini bagi Partai Berkarya bukan hanya 'menjual' Soeharto sebagai strategi marketing politik tapi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan karena partai tersebut memang didirikan oleh keluarga dan pendukung Soeharto," kata dia.

Target Partai Berkarya, kata dia, mungkin tidak sekadar target elektoral tetapi ada target yang lebih penting yaitu membela Soeharto.

"Sayangnya, sisi buruk masih mendominasi keseluruhan persepsi Soeharto hingga kini. Imej positif Soeharto Bapak Pembangunan belum cukup untuk mengerek elektabilitas partai milik keluarga Cendana itu," kata dia.

Dia menyakini ada kesalahan cara menjual Soeharto atau momentumnya masih belum tepat. Faktanya, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang didirikan R Hartono dan ada Siti Hediati Rukmana yang akrab disapa mbak Tutut lenyap dari kontestasi politik karena perolehan suaranya tidak memenuhi syarat ambang batas parlemen.

Pun Partai Berkarya yang didirikan Tomy Soeharto posisinya juga terancam tidak lolos di parlemen karena berdasarkan sejumlah hasil survei elektabilitasnya di bawah 4 persen.

Saksikan video terkait polemik Soeharto berikut ini: 

Let's block ads! (Why?)

https://www.liputan6.com/news/read/3797997/headline-polemik-soeharto-bapak-pembangunan-vs-guru-korupsi-siapa-untung

No comments:

Post a Comment