Liputan6.com, Manila - Tentara Filipina mengklaim bahwa pasukannya telah menewaskan tiga anggota Abu Sayyaf di sebuah pulau terpencil di bagian selatan negara ini.
Selain itu, mereka juga kehilangan lima anggotanya dalam sebuah pertempuran tersebut, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (4/2/2019).
Bentrokan dengan lebih dari 100 anggota kelompok Abu Sayyaf itu pecah di Kota Patikul, Provinsi Sulu, pada pukul 11.30 pagi waktu Filipina, ketika para tentara memburu militan yang menjadi dalang dari serangan gereja pada Minggu, 27 Januari 2019, kata Kolonel Gerry Besana, juru bicara Komando Mindanao Barat.
Pemboman gereja di Sulu, yang menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100 warga sipil dan tentara, merupakan serangan bunuh diri yang diduga dilakukan oleh pasangan asal Indonesia, dengan bantuan kelompok Abu Sayyaf, kata Menteri Dalam Negeri Eduardo Ano, Jumat, 1 Fabruari 2019.
Namun kebenaran informasi ini masih harus didalami, sebab belum ada bukti cukup yang menguak bahwa kedua pelaku adalah benar-benar WNI.
Abu Sayyaf adalah organisasi militan yang dikenal sering melakukan penculikan dan aksi ekstremis dan telah menyatakan setia kepada ISIS. Provinsi Sulu, di kawasan Mindanao, dikenal sebagai kubu kuat kelompok itu.
"Pertempuran di Patikul berlangsung selama hampir dua jam," kata Besana. "Lima tentara dan 15 militan juga terluka," laanjutnya.
Darurat militer telah diberlakukan di Mindanao sejak para pejuang lokal dan asing yang berseragam serba hitam menyerbu Marawi City pada 2017 dan melancarkan serangan udara dan pertempuran darat selama lima bulan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
KBRI Manila: Belum Ada Bukti WNI Jadi Pelaku Teror Bom Gereja Filipina
Sumber diplomatik RI di Filipina, siang ini, menyampaikan perkembangan terbaru perihal kabar dugaan dua warga negara Indonesia menjadi pelaku teror bom ganda gereja di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina selatan pada 27 Januari 2019.
Menurut sumber itu, hingga siang hari 2 Februari 2019 waktu lokal, belum ditemukan keterlibatan WNI dalam pengeboman Katedral Our Lady of Mount Carmel di Jolo yang menewaskan setidaknya 22 orang dan menyebabkan lebih dari 100 lainnya terluka.
"Informasi dari sumber kami di Davao siang ini (waktu lokal) berdasarkan olah tempat kejadian perkara, belum ditemukan keterlibatan WNI," kata Fungsi Penerangan Humas dan Media KBRI Manila, Agus Buana kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Sabtu 2 Februari 2019 pukul 13.18 WIB.
"Intinya belum terindikasi bahwa itu WNI dan pernyataan Mendagri (menteri dalam negeri) Filipina hanya berdasarkan saksi mata di lokasi," lanjutnya.
Kabar mengenai dua WNI menjadi pelaku pengeboman gereja di Jolo memang pertama kali mencuat lewat pernyataan Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano pada Jumat 1 Februari 2019.
Menurut Menteri Ano, informasi tersebut didapat dari keterangan saksi dan sejumlah sumber yang tidak disebutkan namanya.
"Mereka orang Indonesia," kata Ano kepada CNN Philippines, seperti dikutip dari Euronews, Jumat 1 Februari 2019. "Saya yakin mereka orang Indonesia."
Ano menambahkan, pasangan tersebut menerima bantuan dari Abu Sayyaf, sebuah organisasi militan terafiliasi ISIS di Filipina Selatan yang terkenal karena aksi penculikan dan aksi ekstremis lainnya.
Mendagri Filipina menambahkan, mereka yang merencanakan serangan itu berada di bawah instruksi ISIS.
Ano mengatakan dua pelaku utama teridentifikasi sebagai "Abu Huda" dan "Istri Abu Huda (yang tidak disebutkan namanya)", yang telah tinggal di Provinsi Sulu sejak lama.
Ia menambahkan bahwa kedua pelaku dibantu oleh seorang lagi yang teridentifikasi sebagai "Alias Kamah", yang diduga anggota ekstremis lokal Ajang Ajang, sempalan Abu Sayyaf.
Nama-nama itu diduga merupakan nom de guerre dan bukan nama sesuai dokumen pencatatan sipil.
Tanggapan Indonesia
Kementerian Luar Negeri RI, pada 1 Februari 2019 malam, juga telah merespons pernyataan Mendagri Filipina dengan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia "masih belum bisa mengonfirmasi" kewarganegaraan pelaku dan menyatakan "terus melakukan konfirmasi" atas kebenaran laporan tersebut.
Sementara pada 2 Februari 2019 pagi WIB, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi juga mengatakan bahwa dirinya terus berkomunikasi dengan Filipina untuk memastikan identifikasi kebenaran pernyataan Mendagri Filipina Eduardo Ano.
No comments:
Post a Comment