Liputan6.com, Tasikmalaya - Salah satu ciri khas destinasi wisata Kampung Naga, di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menjadi daya tarik wisatawan global hingga kini, yakni kemampuan mereka mempertahankan seluruh corak adat dan budaya masyarakat.
Salah satunya, struktur bangunan rumah panggung tahan gempa dan fasilitas umum yang digunakan di sana. "Ini seluruhnya bangunan yang kami bangun sejak 1956, pasca dibakar gerombolan DI/TII," ujar Urya, pemandu wisata Kampung Naga, Sabtu, 2 Maret 2019, petang lalu.
Saat ini, kawasan permukiman Kampung Naga memiliki sekitar 112 bangunan dengan pola gedung panggung. Total jumlah penduduk 294 orang, dari 101 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami Kampung Naga sejak lama.
Namun, dari jumlah bangunan yang ada, ujar Urya, tiga di antaranya termasuk fasilitas umum. Sebut saja masjid untuk kegiatan keagamaan warga Kampung Naga, kemudian Bumi Ageung yang digunakan untuk upacara adat.
Serta Bale Kampung yang difungsikan buat musyawarah warga. "Selain tiga bangunan itu, seluruhnya rumah warga yang saling berhadapan," ujarnya.
Sementara bagi warga sanaga atau para tamu yang masih memiliki keterikatanan dengan masyarakat Kampung Naga, terdapat beberapa bangunan Petambon yang bisa difungsikan untuk tempat beristirahat mereka. "Daripada harus pulang malam, lebih baik kami sediakan di sini," ujar dia.
Dalam praktiknya, untuk melindungi kelestarian Kampung Naga, pemangku adat Kampung Naga membuat pagar pembatas secara ganda, untuk membedakan dari wilayah kampung lainnya.
"Biasanya beberapa tahun sekali gantian, jika sekarang bagian dalam (diperbaiki) tahun depannya pagar bagian luar," papar Urya.
Ia menyatakan, seluruh bangunan masyarakat Kampung Naga merupakan rumah panggung, yang terbuat dari bambu dan kayu tanpa dicat. "Biasanya bagian bawah buat ingon-ingon (peternakan)," ujarnya.
Struktur Bangunan
Soal struktur rumah, bagian dinding, ruang tamu, bagian depan dan bagian dalam rumah, biasanya menggunakan dinding dari anyaman kepang atau biasa disebut bilik berbahan baku bambu.
Sedangkan, bagian dapur, atau pintu masuk rumah, biasanya menggunakan anyaman sasag. "Bahannya sama yakni bambu," dia menegaskan.
Urya menyatakan, penggunaan anyaman itu bukan tanpa alasan, selain sebagai ventilasi agar udara di dalam rumah tetap segar, juga sebagai sarana silaturahmi antarwarga sekitar.
"Kita bisa mengetahui apakah rumah tetangga sebelah atau di depan kita, masak atau tidak, khawatir sudah tiga hari tidak punya beras, maka kita bantu," ujarnya.
Bahkan khusus anyaman sasag bambu yang biasa digunakan untuk pintu, bisa digunakan melihat adanya orang jahat yang berada di luar, dari bilik pintu. "Kalau dari dalam bisa melihat ke luar, tetapi dari luar tidak bisa," kata dia.
Untuk urusan struktur atap rumah, bahan yang digunakan mayoritas rumah panggung Kampung Naga, terbuat dari anyaman daun tepus (nipah), ijuk pohon aren, hingga alang-alang, sementara bagian lantai rumah terbuat dari bambu atau papan kayu.
"Seluruh bangunan menggunakan pondasi batu-buatan dengan ketinggian minimal satu meter," ujarnya.
Dengan posisi rumah menempel di atas pondasi batu alam tersebut, tak mengherankan dalam beberapa musibah gempa besar yang melanda Jawa Barat bagi selatan, seluruh rumah Kampung Naga aman.
"Karena dengan posisi di atas pondasi itu, saat ada getaran gempa, posisi kedudukan rumah menjadi lebih fleksibel," ujarnya.
Studi Ilmuwan Luar Negeri
Dengan tatanan rumah seperti itu, mayoritas masyarakat Kampung Naga seolah hidup tenang, tanpa gangguan alam seperti gempa dan banjir yang menghantui manusia.
"Yang membuat masalah itu bukan alam tapi kita, maka cintailah alam sekitar kita," Ucu Suherlan, (53), Ketua Himpunan Pramuwisata Kampung Naga (Himpana) menambahkan.
Menurut Ucu, pola rancang bangun rumah panggung yang dibangun masyarakat Kampung Naga terbilang aman dari gempa. Dengan pola rumah panggung yang disimpan di atas pondasi batu alam, kondisi rumah relatif aman saat gempa menerjang.
Tak mengherankan dalam perjalanan selanjutnya, pemukiman Kampung Naga kerap dijadikan studi banding ilmuwan hingga arsitek luar negeri, untuk melakukan kajian mengenai bangunan tahan gempa. "Rata-rata sebulan ada sekitar 300 wisatawan asing," ujar dia.
Dari jumlah itu, turis dari Belanda, Jerman, dan Perancis, tercatat sebagai pengunjung paling banyak setiap bulannya, sedangkan dari Asia, pengunjung lebih didominasi kalangan pelajar dari Singapura, Jepang, Thailand, dan Malaysia.
"Biasanya yang lama (kunjungan) itu pengunjung dari Belanda dan Jerman," dia menambahkan.
Ucu menyatakan, banyaknya pengunjung asing yang wara-wiri ka Kampung Naga bukan tanpa alasan, selain untuk kepentingan edukasi, kajian ilmian dan ilmu pengetahun, mereka juga tertarik nilai masyarakat yang selalu mengajarkan kesederhaan hidup.
"Kalau ditotal seluruh pengunjung per bulan baik lokal atau pun asing, bisa mencapai 7.000 orang," dia menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini:
No comments:
Post a Comment