Liputan6.com, Jakarta - Ada yang pernah mendengar molecular gastronomy? Belakangan teknik memasak yang didasarkan pada sains tersebut populer di Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
Salah satu restoran yang ternama adalah Namaaz Dining yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Restoran yang menghidangkan menu makanan Indonesia itu menyiapkan 17 jenis masakan yang selalu berbeda jenisnya setiap enam hingga delapan bulan, misalnya membuat kari tetapi dalam bentuk lembaran kertas.
Restoran berkonsep fine dining itu hanya buka lima hari dalam seminggu dengan jumlah kursi yang terbatas. Maka, setiap tamu diharuskan melakukan pemesanan tempat sebelum datang. Harga paketnya? Mencapai jutaan rupiah.
Apa yang membuatnya mahal? Ronald Prasanto, ahli kopi dan pendiri Ron's Laboratory menjelaskan harga tinggi yang dikenakan kepada para tamu disebabkan teknik memasaknya membutuhkan waktu panjang dan sumber daya manusia terlatih.
"Bukan karena ingredient, tapi waktu dan human resources. Nggak mungkin nyewa atau hire orang yang nggak pengalaman," kata lelaki yang akrab disapa Ron di sela-sela acara Molecular Gastronomy X Duralex di Jakarta, Jumat, 5 April 2019.
Ron yang pernah mengelola restoran es krim dengan teknik molecular gastronomy itu mengatakan sumber daya manusia yang terlibat dalam industri tersebut setidaknya memiliki dasar pengetahuan memasak yang memadai. Mereka paham kandungan bahan makanan dan sains yang mendasari proses memasak.
"Misalnya saja tadi seperti membuat es krim dengan nitrogen cair. Tekniknya harus benar agar bahan kimia yang digunakan tidak membahayakan. Pemahaman tentang basic ini yang kadang orang lupa," lanjutnya.
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3935442/makan-di-restoran-berteknik-molecular-gastronomy-mengapa-harus-bayar-mahal
No comments:
Post a Comment