Hutan lindung direkayasa menjadi hutan produksi. Vegetasi hutan yang sebelumnya berisi Jati dan kayu keras lain diubah menjadi tanaman yang konon lebih menguntungkan, pinus. Padahal, pinus tak bersifat menyimpan air.
Akibatnya, krisis air pun melanda desa-desa, yang ironisnya berada di pegunungan yang relatif dekat dengan hutan, yang oleh para pelukis realis naturalis dianggap sebagai tempat di mana dewa-dewa bersemayam. Kini daerah itu berubah menjadi lahan tandus, tanpa air.
Hingga awal September 2018 ini, kekeringan dan krisis air bersih di Kebumen aibat kemarau panjang telah melanda sebanyak 44 desa di 11 kecamatan. Seperti disebut di muka, sebagian besar desa yang mengalami krisis adalah desa-desa yang berada di pegunungan, yang relatif dekat dengan hutan.
"Mata air di Kebumen tadinya ada. Tetapi, setelah sekian saat, mengecil, kemudian hilang," ucap Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kebumen, Eko Widianto, Kamis, 6 September 2018.
Desa-desa yang berada di pegunungan ini kehilangan sumber mata air lantaran vegetasi hutan lindung dengan bermacam kayu keras berubah menjadi hutan produksi. Pinus, kini mendominasi hutan-hutan di Kebumen.
"Memang kalau melihat kondisi hutan yang ada memang, hutan pinus. Tanamannya juga tidak terlalu baik lah. Itu kan kawasan milik Perhutani. Jadi, sebelum tanaman pinus, memang ada tanaman jati, dan kayu lain, kayu tahun lah," dia mengungkapkan.
Menurut Eko, alih tanaman jati ke pinus itu diduga mematikan mata air. Sebab, tanaman pinus tak bisa menyimpan air, sebagaimana tanaman kayu keras lain yang sebelumnya menjadi tanaman utama hutan di Kebumen.
https://www.liputan6.com/regional/read/3638407/hutan-kebumen-tak-lagi-mampu-menyimpan-air-salah-perhutani
No comments:
Post a Comment