Saat itu, Sulemi baru mendengar, ada seorang anak menangis. Namun, ia tak berfikir bahwa anak itu, Ade Irma Nasution, tertembak kala Sumarjo dan Hargiono menembak gagang pintu.
"Saat itu tidak menangis. Baru setelah saya keluar, ada suara tangisan anak kecil. Tapi saya kira itu tangisan karena takut," dia menerangkan.
Tembakan gagang kunci ini lah malapetaka untuk Ade Irma Nasution. Rupanya, satu peluru dari senapan prajurit Cakrabirawa meleset dari gagang kunci dan mengenai punggung bocah berusia 5 tahun yang tengah digendong ibunya.
Ia bersumpah, tembakan yang mengenai punggung Ade Irma Nasution adalah pantulan dari peluru yang ditembakkan ke gagang kunci. Sama sekali tak ada unsur kesengajaan menembak anak kecil tak berdosa.
Belakangan, cerita tertembaknya Ade Irma diramatisir menjadi salah satu bukti kekejaman Cakrabirawa. Ia muncul dalam film dan narasi-narasi sejarah.
Cakrabirawa digambarkan sebagai pasukan yang kejam dan tak memiliki hati. Padahal, saat itu Cakrabirawa hanya berniat menjemput Nasution dan tak berniat sedikitpun mencelakai Ade Irma yang kala itu baru berusia 5 tahun.
"Edan apa. Buat apa, anak tidak ada sangkut pautnya. Itu yang sangat luar biasa fitnahnya. Wong saat di dalam itu, dia kena peluru itu saya juga tidak tahu. Setelah saya sampai di luar rumah itu, mendengar dia menangis," dia mengungkapkan.
Akibat terlibat penculikan, dan dianggap terlibat G30S PKI, Sulemi divonis mati. Belakangan, vonisnya diringankan di tingkat banding menjadi penjara seumur hidup. Akan tetapi, penyiksaan di luar perikemanusiaan mesti ditanggungnya selama dalam tahanan.
Senasib dengan Sulemi, dua orang penembak kunci pintu juga divonis berat. Hargiono dihukum mati, sementara, Sumarjo dihukum seumur hidup.
Sulemi bebas pada tahun 1980, usai ada tekanan lembaga HAM internasional. Saat itu lah, ia baru tahu, Ade Irma Nasution, tertembak dan meninggal dunia beberapa hari kemudian.
"Saya baru mengetahui Ade Irma tertembak itu kan di luar," dia menambahkan.
No comments:
Post a Comment