Liputan6.com, Jakarta - Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kembali berulah. Gerombolan bersenjata yang pernah dikomandoi Santoso alias Abu Wardah melakukan tindakan sadis. Mereka memutilasi seorang warga bernama Ronal Batau, di Desa Salubanga, Sausu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Tubuh penambang emas tradisonal itu ditemukan dalam kondisi tragis. Kepala korban berada di atas jembatan, sementara tubuhnya dibuang di hutan, tak jauh dari lokasi ditemukannya kepala.
Polisi, yang menerima laporan warga, langsung bergerak. Pistol dan senapan otomatis menjadi bekal personel menuju tempat kejadian perkara pada Senin 31 Desember 2018. Maklum saja, wilayah Parigi Moutong dan Poso merupakan zona merah kelompok MIT.
Benar saja. Apa yang dikhawatirkan terjadi. Saat personel kepolisian mengevakuasi jasad korban mutilasi, tiba-tiba saja rentetan tembakan tertuju ke arah aparat.
"Dorrr..dorr..! Berondongan peluru tiba-tiba datang dari arah belakang aparat.
Diduga kuat tembakan tersebut berasal dari kelompok Santoso yang tersisa dan memilih bertahan di hutan wilayah Sulawesi Tengah.
Polisi juga menduga, aksi mutilasi tersebut merupakan pancingan. Aparat lah yang sebenarnya disasar kelompok yang kini dipimpin Ali Kalora
Polisi kemudian tidak tinggal diam. Tembakan dibalas tembakan. Baku tembak tak terelakkan. Dua polisi, Bripka Andrew dan Bripda Baso, yang sedang memindahkan ranting pohon yang menghalangi mobil, menjadi korban penembakan. Keduanya sempat tersungkur. Untungnya, nyawa mereka terselamatkan.
Baku tembak terjadi sekitar 30 menit. Hutan kembali hening. Personel kepolisian akhirnya berhasil mengevakuasi korban mutilasi. Tidak sampai ada nyawa yang hilang, meski dua personel Polres Parigi Moutong luka-luka.
"Ada sejumlah luka di bagian bahu, punggung, bokong, dan kaki. Kurang-lebih 30 menit anggota bertahan di lokasi kontak tembak dengan memberikan tembakan perlawanan," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/1/2019).
Dedi mengatakan, serangan eks kelompok teroris Santoso, yang saat ini di bawah komando Ali Kolara, ke aparat diduga untuk menunjukkan bahwa mereka masih eksis.
Dedi meyakini, Ali Kalora dan anggotanya ingin dianggap, setelah kematian pimpinannya, Santoso, dan ditangkapnya Basri, tangan kanan Santoso. Mereka tak rela MIT dianggap tamat.
"Mereka ingin terlihat masih eksis. Menunjukkan bahwa mereka masih ada. Padahal, berdasarkan hitungan kami, jumlah mereka tidak banyak, kecil, hanya 10 orang. Semuanya sudah diidentifikasi," ucap Dedi.
Dari sisi kekuatan senjata, Dedi juga menyatakan kelompok yang telah berbaiat kepada jaringan teroris ISIS di Irak dan Suriah itu minim persenjataan. Ali Kalora Cs hanya memiliki beberapa senjata api dan senjata tajam.
"Mereka hanya punya 3 senjata api. Dua senjata laras panjang, satu rakitan, satu senjata laras pendek rakitan. Sisanya senjata tajam," ucap Dedi.
Kecil-kecil, kelompok Ali Kalora terbilang licin. Susah ditumpas. Pengamat teroris, Ali Fauzi mengakui, salah satu hambatan aparat menangkap jaringan MIT karena medan pegunungan di Poso yang cukup berat.
Dia mengibaratkan, Ali Kalora dan anak buahnya sudah menjadikan pegunungan Poso seperti rumah bagi mereka.
"Ali sangat paham medan Poso, mulai dari gunung lembah, juga suplai logistik terus jalan, jadi mengapa terus eksis? Karena itu, mereka juga masih bisa survival dengan memanfaatkan kebun dan Pegunungan Poso yangg dijadikan sumber kehidupan," ucap Ali Fauzi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (3/1/2019).
Adik dari teroris Amrozi ini menilai, semestinya aparat kepolisian terus mengintensifkan perburuan kelompok MIT pasca-keberhasilan menembak mati Santoso dan menangkap Basri.
Menurut Ali Fauzi, aksi teror akan terus terjadi bila pemerintah tidak membasmi habis anggota MIT yang selama ini masih bergerilya di Pegunungan Poso.
Mantan teroris yang sudah bertobat itu menjelaskan, konsep 'jihad' diusung Ali Kalora Cs adalah menembak anggota Polri atau TNI. Dan, upaya itu akan terus dilakukan sebelum kelompok tersebut tidak dibasmi sampai ke akarnya.
Kendati jumlah anggota MIT di bawah Ali Kalora saat ini kian sedikit, namun Ali Fauzi meminta pemerintah tidak memandangnya sebelah mata. Menurut dia, jumlah yang makin sedikit justru harus semakin diwaspadai.
"Memang anggota Majelis Mujahidin Indonesia Timur makin sedikit, tapi dalam perang gerilnya, makin sedikit orang makin sulit dideteksi," kata dia.
Mantan narapidana terorisme lainnya, Sofyan Tsauri mengatakan, untuk menumpas kelompok teroris Ali Kalora, pemerintah perlu melibatkan TNI AD dalam operasi Tinombala.
Operasi Tinombala sendiri merupakan lanjutan dari Operasi Camar Maleo IV dan mulai berjalan sejak 10 Januari 2016.
Menurut dia pelibatan TNI untuk mengimbangi pola penyerangan dengan sistem gerilya yang digunakan kelompok Ali Kalora. Merela harus dilawan dengan cara serupa dan tepat sasaran.
"Ini kan pola gerilya, maka counter-nya gerilya. Saya rasa, marka darat sudah punya semua itu, kalau serius pasti selesai. Urusan hutan ini kan urusannya marka AD, saya rasa kalau kita mau serius, selesai itu dengan menurunkan satu peleton," ucap Sofyan Kamis (3/1/2018).
Menurut dia, Ali Kalora dan pasukannya sangat terlatih di medan perang. Karena itu, aparat kepolisian membutuhkan bantuan dari tentara dalam mencari keberadaan mereka.
"Ali Kalora sudah 7 tahun di hutan Poso, sudah hapal banget. Sedangkan anggota itu kan ganti-ganti, tentara palingan setahun. Kalau Brimob paling 6 bulan," ujar eks anggota jaringan teroris Aceh itu.
Sofyan menambahkan, kepolisian bisa membantu TNI dengan cara melakukan upaya persuasif kepada kelompok tersebut agar mau turun dari tempat persembunyiannya.
"Tetap mengimbau agar mereka turun, baik dengan pendekatan persuasif, atau dengan yang represif," ucap mantan anggota Brimob itu.
Saksikan video terkait teroris Poso berikut ini:
https://www.liputan6.com/news/read/3862474/headline-mutilasi-di-parigi-moutong-taktik-teroris-poso-tunjukkan-eksistensi
No comments:
Post a Comment