Pages

Wednesday, February 6, 2019

HEADLINE: Pilpres 2019 Tersembur Polemik Propaganda ala Rusia, Siapa Untung?

Liputan6.com, Jakarta - Operasi Semburan Fitnah atau Firehose of Falsehood dikenal sebagai teknik propaganda yang pernah dilakukan Rusia. Dalam Pilpres Amerika Serikat 2016 antara Donald Trump melawan Hillary Clinton, teknik operasi semburan fitnah ini disebut mencapai puncaknya.

Di masa kampanye Pilpres 2019, gejala operasi semburan fitnah dirasakan calon presiden nomor urut 01 Jokowi. Ia resah.

"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar, lalu minta maaf. Akan tetapi, besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu, lalu minta maaf lagi," kata Jokowi di Surabaya, Sabtu 2 Februari 2019.

Menurut Jokowi, banyaknya hoaks yang bertebaran di medsos karena adanya tim sukses (timses) yang melakukan propaganda ala Rusia. "Problemnya adalah timses yang menyiapkan propaganda Rusia, yang setiap saat mengeluarkan semburan fitnah dan hoaks. Ini yang harus segera diluruskan," Jokowi menegaskan.

Namun, pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Jerry Massie mengingatkan Jokowi agar berhati-hati saat menyampaikan soal propaganda Rusia. Sebab, hal itu bisa menjadi keuntungan bagi kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Untuk Jokowi jangan sampai misscommunication dalam menyampaikan pemikiran. Serahkan saja kepada jubir TKN untuk berbicara," kata Jerry kepada Liputan6.com, Rabu (6/2/2019).

Hal itu, lanjut dia, lantaran dalam dunia komunikasi politik lebih dikenal dengan aspek linguistik verbal, halangan fisikal (salah bicara) bisa berdampak buruk. "Saya nilai kubu lawan sengaja memancing emosi Jokowi agar marah. Ini sebuah settingan yang tidak diantisipasi sejak dini maka ini adalah time bomb atau bom waktu," ungkap dia.

Dengan kondisi ini, maka akan berpengaruh pada debat kedua soal pangan, infrastruktur, SDA dan energi. "Jangan terpancing dengan politik diving kubu lawan. Ketenangan sangat berpengaruh dalam kemenangan. Propaganda dan manifesto politik akan menjadi goal setting (sasaran) untuk menyerang," papar peneliti IPI ini.

Menurut dia, performance Jokowi pada pilpres 2014 lalu berbeda dengan saat ini. Pada 2014, mantan Gubernur DKI ini relatif tak mudah terprovokasi dan terpancing dengan serangan pihak lawan.

Ia menambahkan, intervensi pihak asing memang memungkinkan ada. Misalnya, tambah Jerry, Wikileaks saja diduga terlibat dalam kemenangan Donald Trump 2016 lalu, saat situs yang dipimpin Julian Assange itu membocorkan sejumlah email milik kubu Hillary Clinton dan dugaan keterkaitan mantan ibu negara Amerika Serikat dalam insiden Benghazi yang menewaskan Dubes AS untuk Libya, Chris Stevens.

Infografis Propaganda Ala Rusia Jelang Pilpres 2019 (Liputan6.com/Triyasni)

Pengamat pertahanan, yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Kabinet pemerintahan Jokowi, Andi Widjajanto, menjelaskan apa yang dimaksud oleh orang nomor satu di republik Indonesia itu.

"Propaganda Rusia yang dimaksud Pak Jokowi mengarah ke modus operandi yang dikenal sebagai Operasi Semburan Fitnah (Firehose of Falsehood). Operasi ini digunakan Rusia antara tahun 2012-2017 dalam krisis Krimea, konflik Ukraina, dan perang sipil di Suriah," kata Andi kepada Liputan6.com.

Ketua Tim Cakra 19 ini, menuturkan, propaganda seperti itu sudah muncul sejak dekade 1870-an melalui gerakan Narodniki. Gerakan ini dulu dilakukan untuk menjatuhkan Tsar Rusia dengan cara terus menerus memunculkan isu-isu negatif.

Hasilnya, menurut dia, muncul ketidakpercayaan masif dari rakyat Rusia terhadap sistem politik yang kemudian dikapitalisasi oleh Lenin pada Revolusi Oktober 1917.

Andi menjelaskan, evolusi paling mutakhir dari modus operandi ini muncul di beberapa pemilihan umum seperti AS yang memenangkan Donald Trump, Brasil yang memilih Jair Bolsonaro, dan referendum Brexit di Inggris yang bermuara pada 'perceraian' Britania Raya dengan Uni Eropa. 

"Ada pelibatan konsultan politik Roger Stone yang jago dalam menebar kampanye negatif yang sangat ofensif melalui 3 taktik: serang, serang, serang. Ada terabasan data pribadi melalui algoritma Cambridge Analytica. Ada juga indikasi gelar pasukan siber dengan kode topi hitam atau bintang emas yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menggelar bots (robot) yang mampu memainkan operasi tagar secara masif," ungkap Andi.

Dia menuturkan, operasi semburan fitnah bertujuan untuk membuat dusta mengalahkan kebenaran.

"Operasi ini, ingin menghancurkan kepercayaan publik ke otoritas politik, termasuk media. Operasi semburan fitnah akan merusak demokrasi, karena itu harus dihancurkan. Cara yang paling efektif untuk menghancurkan operasi semburan fitnah adalah menelanjangi bagaimana operasi ini dilakukan," ujar Andi.

2 dari 4 halaman

Tuai Polemik

Pernyataan Jokowi terkait Propaganda Rusia itu menuai polemik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut, apa yang disampaikan oleh calon presiden nomor urut 01 terkait propaganda Rusia merupakan hoaks.

"Menurut saya hoaks ya (propaganda Rusia). Jadi Pak Jokowi kalau betul menyampaikan hal itu, itu membahayakan hubungan diplomatik kita dengan Rusia," kata Fadli di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Senin (4/2/2019). 

Menurutnya, apa yang disampaikan Jokowi oleh tim suksesnya harus disaring terlebih dahulu dan jangan terlalu terburu-buru dan gegabah dalam mengambil suatu keputusan.

"Jangan gegabah, jangan gerasak-gerusuk, mendapat masukan dari timnya itu garbage in, garbage out. Kalau masuknya sampah keluarnya sampah juga, menurut saya ini sampah yang masuk ke Pak Jokowi," ujar Fadli Zon

Dia menegaskan, selama ini pihaknya tak menggunakan cara-cara Rusia seperti apa yang dituduhkan oleh Jokowi. Menurutnya, itu sangat bahaya dan bisa diprotes. Terlebih yang menyampaikan merupakan seorang calon presiden yang sekaligus seorang petahana.

"Kita enggak ada pakai Rusia apa, kita ini berdemokrasi dengan terbuka, demokrasi yang normal tidak pakai malah. Kami ini enggak mendapatkan fasilitas macam-macam, enggak ada tuh misalnya akses kepada pengusaha konglomerat," tegasnya.

Politisi Partai Gerindra ini mengaku, selama ini memang merasa kesulitan dalam masalah pendanaan kampanye. Terlebih, pihaknya tak menguasai media-media mainstream.

"Kita membiayai sendiri, kita kesulitan kok malah masyarakat akhirnya membiayai apa pekerjaan kampanye kita. Kemudian kita tidak menguasai media-media mainstream, yang belum tentu berpihak kepada kami. Kita enggak punya media sendiri yang bisa 24 jam jadi corong untuk salah satu kandidat," pungkasnya.

Kedutaan Besar Rusia di Jakarta juga menanggapi pernyataan pernyataan Jokowi terkait propaganda itu. "Sebagaimana diketahui istilah 'propaganda Rusia' direkayasa pada tahun 2016 di Amerika Serikat dalam rangka kampanye pemilu presiden. Istilah ini sama sekali tidak berdasarkan pada realitas," kata cuitan akun resmi Kedutaan Rusia @RusEmbJakarta.

"Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," imbuh Kedutaan Rusia.

Jokowi pun menjelaskan. Istilah 'propaganda Rusia' itu menurutnya adalah bukan urusan negara tetapi terminologi dari artikel RAND Corporation yang berjudul 'The Russian 'Firehose of Falsehood' Propaganda model pada 2016.

"Iya ini kita tidak bicara mengenai negara, bukan negara Rusia, tapi terminologi dari artikel di RAND Corporation. Sehingga ya memang tulisannya seperti itu, bahwa yang namanya semburan kebohongan. Semburan dusta, semburan hoaks itu bisa mempengaruhi dan membuat ragu dan membuat ketidakpastian," kata Jokowi di Jakarta Selatan, Selasa 5 Februari 2019.

Biasanya, kata Jokowi, pernyataan tersebut dipakai untuk negara-negara yang tanpa dukungan data pasti. Dia pun menegaskan pernyataannya bukan urusan negara.

"Sekali lagi ini bukan urusan negara kita Indonesia dan Rusia, bukan. Saya dengan Presiden (Vladimir) Putin sangat-sangat baik hubungannya," tegas Jokowi

3 dari 4 halaman

Bukan Lantaran Panik

Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Erick Thohir membantah tudingan kubu Prabowo-Sandiaga yang mengatakan Jokowi tengah panik karena elektabilitas pasangan nomor urut 01 ini semakin kecil sehingga menggunakan strategi menyerang.

Padahal, selama ini Jokowi selalu diam, cuek, dan bahkan enggan merespons serangan lawan politik dalam Pilpres 2019.

Faktanya, kata Erick berdasarkan hasil riset lembaga survei resmi dan diakui KPU, selisih suara kedua pasangan minimal 20 persen. Hanya ada dua lembaga survei yang menyatakan selisihnya sudah berkurang. Yakni lembaga Media Survei Nasional (Median) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).

"Kita harus lihat track record. Kita harus berkaca pada lembaga survei yang asosiasinya masuk ke KPU. Jadi lembaga survei yang diakui KPU itu memberi data kedua paslon itu bedanya masih 20 persen," kata Erick di Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Sebagai pengingat, pada 2014, Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memutuskan untuk mengeluarkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari keanggotaan Persepi.

Pangkal masalahnya, kedua lembaga tak bisa mempertanggungjawabkan publikasi hasil hitung cepat Pilpres 2014 bahwa Prabowo-Hatta unggul dengan selisih 1-2 persen suara.

Erick melanjutkan, kalaupun survei Median dan Puskaptis itu hendak diakui, jika dihitung rata-rata selisih elektabilitas kedua pasangan calon, masih di angka 15-18 persen dan dimenangkan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Sehingga aneh bila disebut Jokowi-Ma'ruf panik.

"Intinya, kalau dikatakan Jokowi panik karena survei, jawabannya tidak," kata Erick.

Sementara, soal terminologi ofensif, Erick mengaku bahwa dirinya pernah bicara bahwa Tim Jokowi-KH Ma'ruf sudah saatnya ofensif. Pernyataan dikeluarkan saat rapat koordinasi tim hukum TKN, yang dihadiri Yusril Ihza Mahendra.

Konteks ofensif itu adalah pihak Jokowi-Ma'ruf sering dilaporkan ke Bawaslu tanpa data akurat oleh pihak lawan.

"Jadi saya katakan, sudah selayaknya tim hukum kita ofensif melaporkan dengan fakta dan data," kata pria yang sukses memimpin penyelenggaran Asian Games 2018 di Jakarta itu.

Masalahnya kemudian, kata dia, pihak lawan langsung memelintir. Ketika tim hukum melakukan pelaporan berdasarkan data dan fakta yang ditindaklanjuti secara serius oleh aparat, langsung diisukan telah terjadi kriminalisasi.

"Mereka tak bisa membedakan kriminalisasi dengan penegakan atas fakta hukum. Ini perlu saya tegaskan supaya fair dulu ya," imbuhnya.

Jokowi sendiri, kata Erick dalam beberapa hari terakhir, hanya menyampaikan isi hatinya. Bahwa isu yang ada selama ini sebenarnya terbalik-balik. Ketika sebagai petahana Jokowi dituduh melakukan kriminalisasi, yang terjadi sebenarnya adalah Jokowi dizalimi.

Misalnya, kata dia, dengan dicap sebagai antek asing, PKI, antek aseng, dan lain-lain. Dan semua penzaliman itu sudah dimulai sejak 2014 dengan terbitnya Obor Rakyat.

"Jadi kalau sekarang beliau menjawab, itu lumrah. Sebab kalau tak menjawab, nanti fitnah itu dianggap benar. Anehnya, ketika beliau menjawab, dikatakan beliau panik dan ketakutan. Justru beliau sedang menyampaikan data dan fakta, yang selama ini diputarbalikkan," kata Erick.

Sementara, pernyataan Jokowi yang mengatakan soal konsultan asing, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan orang asing di belakang BPN seperti yang sudah tersebar di media sosial.

"Propaganda Rusia itu yang dimaksud adalah konsultan asing yang dipakai. Dan kita tahu, beliau lebih tahu, konsultannya bukan satu atau dua saja. Dari negara lain juga ada," beber Erick.

Tapi apakah hal itu takkan menjadi bumerang bagi Jokowi-Ma'ruf? Menjawab itu, Erick menekankan bahwa yang dilakukan bukanlah menyerang, namun menyampaikan data dan fakta. Dan semuanya dilakukan dengan hitung-hitungan yang cermat.

Erick lalu membuka salah satu hasil survei di pascadebat pertama lalu. Hasilnya, debat tak mempengaruhi pemilih militan yang sudah ada. Data pemilih Jokowi dari 4 bulan lalu hingga usai debat pertama berada di angka 54 persenan. Begitupun pemilih Prabowo-Sandi di angka 31 persen. Sebanyak 82 persen pemilih menyatakan takkan mengubah lagi pilihannya.

Sementara, masih ada 18 persen pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter). Data ini diambil dari Lingkaran Survei Indonesia.

Mereka inilah, kata Erick yang dicoba ditarik suaranya. Dan bagi Jokowi-Ma'ruf, caranya adalah dengan menyampaikan fakta dan data sebenarnya atas hal-hal yang selama ini diputarbalikkan.

"Ya soal isu dan fitnah PKI lah, antek asing dan antek aseng lah," ujarnya.

Selain itu, perlunya penekanan soal prestasi-prestasi Jokowi yang selama ini belum maksimal disampaikan. Semisal soal pembangunan infrastruktur, dirasakan masih kurang untuk menjelaskan bahwa pekerjaan itu punya imbas jangka pendek.

Berupa, lanjut dia, waktu perjalanan lebih efisien hingga menurunnya harga sembako akibat biaya transportasi menurun. Di luar imbas jangka pendek, ada imbas jangka panjang di mana berbagai industri akan tumbuh sejalan dengan pembangunan infrastruktur.

"Intinya menjelaskan ada manfaat jangka pendek dan ada jangka panjang. Sama seperti menanam pohon buah, kan tak ujug-ujug langsung berbuah. Ini yang bagaimana undecided voters perlu dijelaskan. Lalu selanjutnya bagaimana Pak Jokowi akan kembangkan sumber daya manusia kita," beber dia.

Ditegaskan Erick, pihaknya takkan berhenti menyampaikan hal itu seperti yang dilakukan oleh Jokowi selama data dan fakta yang ada terus diputarbalikan. Pihaknya akan menggunakan data sebanyak mungkin untuk mendukung semua materi yang ada.

"Kenapa pakai data? Contohnya begini. Paslon 02 menjanjikan gaji pegawai akan dinaikkan. Tapi di lain pihak, dia tak konsisten karena menurunkan pajak negara. Darimana untuk membiayainya? Apakah nanti negara kita kayak Venezuela atau Yunani yang krisis? Yunani krisis karena pemasukan dan pengeluaran tak seimbang. Makanya bicara harus pakai data kan," kata Erick.

4 dari 4 halaman

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Let's block ads! (Why?)

https://www.liputan6.com/news/read/3888524/headline-pilpres-2019-tersembur-polemik-propaganda-ala-rusia-siapa-untung

No comments:

Post a Comment